Pohon
Harapan
Sore
itu saat sang surya condong ke barat dan kawanan burung berarak pulang,
anak-anak pun berlarian riang menuju ke sebuah lapangan di kampung itu.
Lapangan yang luas dengan pohon-pohon rindang. Mereka terlihat senang bermain
sambil berlarian. Awan sore yang
kemerahan membuat udara terasa hangat.
Serasa ikut merasakan kehangatan persahabatan Mira dan kawan-kawannya.
“Mira,
ayo cepat!” teriak seorang anak kecil memanggil temannya.
Anak
yang dipanggil Mira itu menoleh sambil tertawa. Segera ia lari mengejar teman
dari grup lawan. Permainan mereka terhenti oleh mobil pengangkut barang yang
berhenti di depan sebuah rumah kosong di seberang lapangan. Seorang pria paruh
baya terlihat menurunkan barang dan perabotan dari atas mobil.
“Ada
tetanggga baru, ya?” tanya seorang bocah laki-laki bertubuh gendut, Boni.
“Sepertinya
iya. Rumah itu baru selesai direnovasi bulan lalu,” kata Mira.
“Eh,
ada anak yang turun dari mobil itu. Kayaknya dia seumuran sama kita. Kenalan,
yuk,” kata anak perempuan yang dikuncir dua.
“Ayo!”
sahut anak yang lain.
Langkah-langkah
kecil mereka bergerak mendekati bocah perempuan yang memegang boneka beruang
kecil.
“Hai,”
sapa Mira.
“Oh,
hai,” jawab bocah itu sambil tersenyum lebar.
“Namaku
Mira dan ini teman-temanku. Siapa namamu?” tanya Mira sambil mengulurkan
tangannya.
“Namaku
Putu . Salam kenal,” jawab Putu sambil
mengulurkan tangannya.
Mereka
saling berkenalan. Putu mengatakan dirinya pindah dari Bali karena ayahnya
pindah kerja.
“Putu,
main bareng, yuk. Kita lagi main bentengan nih,” ajak Doni.
“Oke.
Sebentar, ya, aku izin ibuku dulu,” kata Putu.
Tak seberapa lama , mereka bermain bersama di lapangan. Setelah lelah bermain,mereka
beristirahat sambil bercengkerama di bawah pohon rindang di pinggir lapangan.
Mereka terlihat akrab. Putu pun tak terlihat canggung dengan teman barunya
“Oiya,
Putu. Kamu sudah pernah mendengar Pohon Harapan, belum?” tanya Ani.
“Belum.
Pohon apa itu?”
“Di
kampung kami ada Pohon Harapan. Pohonnya besar banget. Kata kakekku pohon itu
sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu hingga sekarangpun pohon itu masih kuat dan kokoh,” kata Boni.
“Kami
menyebutnya Pohon Harapan karena kita
bisa menulis apa saja harapan dan cita-cita kita di kertas warna warni lalu
kita gantungkan kertas itu di dahan
pohon. Lucu yaa..,” lanjut Doni.
“Wah,
keren! Boleh tidak aku menggantungkan harapanku juga?” tanya Putu.
“Tentu
saja boleh,” jawab teman-teman baru serempak.
“Kata
Ustaz Ali, asalkan disertai dengan doa dan usaha, pasti harapan itu akan
menjadi kenyataan,” kata Mira.
Putu
tersenyum senang mendengar penjelasan
teman-temannya. Tak terasa hari beranjak malam. Awan merah mulai berganti
gelap. Karena sudah malam, anak-anak itupun pulang ke rumah masing-masing.
****
Minggu
pagi ini, matahari mulai menampakkan dirinya dengan malu-malu di ufuk timur. Tetes
embun pagi di dedaunan membuat pagi itu terasa sejuk. Angin semilir bertiup
pelan. Kicauan burung seolah menemani anak-anak yang
riang bermain di bawah sebuah pohon besar di tanah lapang kampung.
Putu
tertegun melihat pohon yang paling besar
dibanding pohon-pohon lain di sekitarnya. Di dahan-dahannya terdapat
botol-botol kaca dengan secarik kertas yang digulung didalamnya digantungkan dengan tali.
“Nih,
Putu. Tulis harapan atau cita-citamu di sini dan masukkan ke botolnya,” kata
Mira menyodorkan secarik kertas, pulpen, dan botol kaca.
Setelah
selesai menuliskan harapannya, Putu menggulung kertas tersebut dan dimasukkan
ke dalam botol kaca.
“Sudah
selesai? Kalau sudah, ayo gantungkan!” ajak Doni.
Putu
terlihat ragu-ragu untuk memanjat pohon.
“Kamu tidak bisa memanjat?” tanya Mira.
“Aku
takut. Aku belum pernah memanjat pohon sebelumnya,” jawab Putu.
“ Tak apa-apa. Kamu pasti bisa. Kami siap
membantumu, kok.” kata Ani sambil tersenyum.
Akhirnya
dengan bantuan teman-temannya, Putu pun berhasil memanjat pohon itu dan
menggantungkannya di sebuah dahannya. Setelah itu ia berdoa agar harapannya
terwujud. Mereka semua tersenyum.
“Oiya..teman-teman,bulan
depan aku akan berulang tahun. Aku akan
membuat pesta perayaan di rumahku. Datang, ya,” kata Mira.
“Kami
pasti akan datang, Mira,” jawab teman-temannya.
***
Hiasan
balon warna warni, aneka hidangan dan tak ketinggalan sebuah kue ulang tahun
nan cantik menghiasi ruang tamu rumah Mira. Mira dengan senyum manis siap menyambut kedatangan teman-temannya. Tak
seberapa lama, teman-teman Mira mulai berdatangan.
“Selamat ulang tahun, Mira,” kata Putu sambil
menyerahkan kado yang ia bawa.
“Terima
kasih, Putu. Ayo duduk, acaranya mau dimulai,” jawab Mira.
Setelah
acara tiup lilin, Mira mempersilakan teman-temannya untuk menikmati
hidangan yang tersedia.
“Teman-teman,
silakan dinikmati makanannya. Ini buatan ibuku, lho,” kata Mira.
“
Hhmmm yummy…enak nih rendangnya “ kata Boni sambil memegang piring yang penuh
makanan.
Ada
rendang, balado dan tak lupa gulai tunjang kesukaan teman-teman Mira. Hari ini ibu
memasak khusus untuk ulangtahun Mira. Ibu Mira adalah orang Minang yang terkenal
pandai memasak. Namun ada yang aneh,
Mira tidak melihat Putu menyentuh makanan itu sedikitpun. Padahal Mira telah
berkali-kali mempersilahkan Putu. Namun Putu tak bergeming. Hingga acara usai,
sedikitpun Putu tak menyentuh hidangan yang disediakan keluarga Mira. Mira
sangat tersinggung dengan sikap Putu yang seolah-olah tak menghargai sajian
hidangan di pesta ulang tahunnnya.
****
Hari
berlalu, namun rasa tersinggung dan marah Mira pada Putu membuat Mira malas
untuk bermain bahkan bertegur sapa. Hingga suatu saat, tiba-tiba Lia membawa
kabar bahwa Putu akan pindah ke Bali. Mira pun tak bergeming saat
teman-temannya mengajaknya ke rumah Putu untuk mengantar kepindahannya.
Keesokan
harinya , ketika Mira sedang bermain bersama teman-temannya di lapangan, ia
menoleh ke rumah yang dulu ditempati Putu. Meskipun ia senang bermain dengan
teman-temannya saat ini, ia merasa ada hal yang hilang, ia merindukan Putu.
“Oiya,
kalian sudah dengar kabar dari Pak Kepala Desa belum?” tanya Ani.
“Kabar
apa?” tanya Lia.
“Kabarnya
Pohon Harapan akan ditebang. Bukan hanya Pohon Harapan saja, tetapi semua pohon
di sekitarnya akan ditebang karena akan dibangun sebuah balai pertemuan disana,”
kata Ani.
“Apa?!”
tanya Mira dan teman-temannya terkejut.
“Kapan
pohonnya akan ditebang?” tanya Mira.
“Sepertinya
mereka sudah mulai akan menebangnya sore hari ini. Tadi pagi aku lihat ada
beberapa alat berat di sekitar Pohon Harapan,” jawab Ani.
“Ke
sana, yuk! Kita harus melihat Pohon harapan terakhir kali sebelum ditebang,”
ajak Boni dan disahut oleh anggukan teman-temannya.
Mereka
segera berlari ke Pohon Harapan. Sesampainya di sana, banyak warga yang
berkerumun di sekitar Pohon Harapan yang sedang ditebang. Mira dan
teman-temannya mengamati pohon yang ditebang itu dengan sedih. Tanpa disadari,
setetes air mata menetes dari matanya. Ia sedih melihat botol kaca yang berisi
harapan-harapan tersebut berjatuhan.
Sebuah
botol kaca menggelinding di tanah dan berhenti karena tertahan kaki Mira.
Karena rasa penasaran, ia menghapus air matanya dan mengambil botol kaca tersebut.
Betapa terkejutnya ia menyadari bahwa kertas di dalamnya adalah tulisan Putu.
Maafkan kesalahanku,
sahabat-sahabatku…Aku bahagia bermain dengan kalian, dan semua hal yang aku
habiskan bersama kalian. Kalian sudah membuat hari-hariku terasa menyenangkan
di kampung ini. Kalian sahabat terbaikku.
Dan untuk Mira, sahabat tersayangku..Maafkan
bila aku mengecewakanmu di pesta ulang tahunmu. Aku yakin masakan ibumu sangat
lezat. Namun maaf, sebagai orang hindu, agama kami sangat menghormati sapi dan kami tidak boleh memakan daging sapi. Maaf bila aku tidak sempat menjelaskan hal ini
sebelumnya. Selamat tinggal sahabatku... Aku menyayangi kalian
Salam hangat
Putu
Tak
terasa air mata Mira semakin deras menetes. Ia merasa sangat bersalah kepada Putu. Akibat
kesalahpahaman ini persahabatannya
hancur hingga detik terakhir kepindahan Putu.Entah bagaimana bisa
bertemu Putu lagi, hanya lewat desiran angin ini ia titipkan rindu dan maafnya
pada Putu. Maafkan aku, sahabatku.
***