“Orang-orang selalu bilang, gantungkan cita-citamu setinggi
langit. Nah, kamu bisa menggantungkan cita-citamu pada rembulan. Kejar dan
gapailah rembulan, karena di sanalah cita-citamu berada.”
Namaku Rembulan Zameria. Aku
biasa dipanggil Bulan. Aku kelas 6 SD. Aku mempunyai seorang adik perempuan
bernama Lusi. Lusi masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Aku seorang yatim.
Ayahku meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena penyakit kanker. Sedangkan emak
bekerja sebagai buruh cuci di kompleks sebelah dan menjual karedok sepulang jadi buruh cuci.
Pagi datang, aku bangun mendengar
suara emak mengulek bumbu karedok. Aku bangun untuk sholat subuh. Aku
membangunkan Lusi yang tidur di sampingku. Saat
aku bangun aku merasakan pakaianku basah.
“Waduh, ini sih harus mandi. Bajuku
kena ompol Lusi,” batinku.
Aku langsung berjalan menuju
kamar mandi. Segera aku mandi dan menunaikan sholat subuh. Selesai sarapan, aku
berpamitan kepada emak untuk berangkat sekolah. Emak menitipkan sebuah tampah
berisi sayuran dan bumbu karedok .
Hari masih sangat pagi ketika aku
berangkat ke sekolah. Di pinggir jalan besar aku menghentikan sebuah angkot
berwarna hijau lalu naik. Angkot lalu berjalan dengan kecepatan tinggi.
Beberapa kali aku terkena cipratan bumbu karedok.
“Bang, jangan ngebut dong. Jualan
saya tumpah nih!” seruku kepada sopir angkot itu.
Sopir angkotnya tidak menjawab. Malah ia
tambah ngebut. Sampai di pertigaan sekolahku, angkot mengerem tiba-tiba.
“Ciiiiitttt….!” Suara rem mobil
berdecit. Aku hampir terjatuh. Jualanku sebagian tumpah ke lantai mobil. Aku
hanya menghela nafas kemudian turun. Setelah itu, aku segera berlari ke kantin sekolah
dengan karedok yang tinggal setengahnya. Aku mencari Bu Tini, penjual di kantin
tempat aku menitipkan jualan emak. Sebenarnya Bu Tini bukan orang yang ramah.
Orangnya judes dan sangat perhitungan. Tapi hanya Bu Tini yang mau menerima
titipan dagangan emak sehingga mau tidak mau aku harus mendengar omelannya
setiap hari.
“Assalamualaikum, Bu. Ini saya
bawa karedoknya,” aku berbicara seramah mungkin.
Bu Tini menatap tidak senang
jualanku yang berantakan. Aku tetap saja meletakkan jualanku di warung Bu Tini.
Bu Tini membuka plastik penutup tampah.
“Kok berantakan karedoknya. Mana
ada yang mau beli makanan rusak kayak begini?” tanya Bu Tini kepadaku.
Aku menahan tangis. Kemudian aku
berkata dengan suara bergertar, “Tapi Bu, kalau enggak dijual nanti bisa basi.
Tolong, ya, Bu. Saya jualnya setengah dari harga biasanya. Yang penting karedoknya
gak sampai basi.”
“Hmm, boleh deh kalau begitu.
Tapi kamu bereskan dulu ya, karedoknya,” Bu Tini tersenyum licik. Dalam
pikirannya yang penting ada uang dan keuntungan yang banyak.
Di kelas, ada yang mengagetkanku dari
belakang. Ternyata si Zahra, sahabatku yang baik hati.
“Hei, Bulan. Kenapa lemes. Belum
sarapan, ya?” tanya Zahra yang bermaksud menggodaku.
Aku menceritakan kejadianku dari
awal sampai dimarahi oleh Bu Tini. Tiba-tiba, Vira bersama geng-nya
lewat di depanku. Vira adalah rivalku di kelasnya. Vira melirik rokku dan
berteriak kepada geng-nya.
“Hai teman-teman... Lihat
tuh, ada orang kampung rokknya kotor bikin orang jijik sama dia. Tinggalin dia,
yuk. Orang kampung gak pantas dideketin,” kata Vira.
Vira dan geng-nya segera
pergi. Sebelumnya Vira melirikku dengan sinis. Aku hanya tertunduk lemas dengan
perkataan Vira. Zahra berusaha menghiburku.
“Sudah, gak usah dimasukin hati
anak kayak gitu. Aku yakin dia cuma iri
sama kamu, kok,” hibur Zahra.
Aku tersenyum seraya bangun dan mencubit
pipi Zahra yang gembul. Zahra berusaha mengejarku. Bel masuk berbunyi dan Pak
Anto memasuki kelas tanda pelajaran dimulai.
Pulang sekolah, aku menyusuri jalan di gang rumahku.
Sampai di rumah, aku mencuci tangan, mengerjakan PR, kemudian berjualan karedok
di depan rumah. Kali ini, aku menyediakan bahan karedok lebih banyak. Kebetulan
ada pertandingan bulutangkis di lapangan
RT. Biasanya orang ramai menonton dan membeli karedokku.
“Assalamualaikum, Lan!” Teh Mina,
tetanggaku menghampiriku.
“Waalaikumsalam.. Mau ke mana,
Teh? rapi amat,” kataku.
“Ini baru pulang dari toko buku.
Beli krayon sama buku gambar,” Teh Mina mengeluarkan beberapa pak krayon dan
buku gambar. Teh Mina membuka les menggambar untuk anak- anak di rumahnya.
“Emang ada berapa orang yang les,
Teh?” tanyaku penasaran.
“Lumayan banyak, kalau di
hitung-hitung cukup untuk biaya kuliah nanti,” jawab Teh Mina. Teh Mina adalah
kakak kelasku. Kini, Teh Mina sudah SMA.
“Oh, ya, Lan. Bukankah dulu kau
mengatakan bahwa kamu juga ingin membuka les privat? Privat apa, Lan? Kamu
ahlinya di bidang apa?” tanya Teh Mina. Dulu aku memang pernah berkata bahwa
aku juga ingin membuka privat matematika seperti Teh Mina.
“Ahli makan dan ahli tidur, Teh,”
jawabku asal.
Teh Mina tertawa mendengar jawabanku.
Di kejauhan, terlihat 3 anak kecil mendekati Teh Mina. Rupanya mereka membawa
PR mereka.
“Teteh pamit dulu, Lan. Murid
teteh sudah datang,” pamit Teh Mina.
Tak lama kemudian, Zahra datang.
Ia memesan 1 bungkus karedok untuk mamanya. Aku menceritakan kepada Zahra kalau
aku ingin membuka privat di rumah.
“Uhuk… uhuk….. mau buka privat,
Lan? Apa nama privatnya?” tanya Zahra. Zahra
tersedak tempe ketika aku menceritakan rencana ingin membuka privat.
“Belum tahu namanya apa. Makanya
aku cerita ke kamu. Mungkin kamu bisa ngasih ide, Ra,” kataku sambil sibuk
mengulek sambal karedok.
“Hmm… gimana kalo Karedok Rasa
Matematika. Ngerjain matematika jadi mudah dan enak, seenak kalo kita makan
karedok. Ideku jenius, kan?” kata Zahra percaya diri.
“Iya juga sih. Trus yang jadi
muridnya?” tanyaku balik.
“Aku bantu promosikan deh. Soal
murid, tuh tetanggamu kan banyak. Belum lagi teman yang suka nanya soal
matematika sama kamu,” Zahra melingkarkan tangannya di bahuku.
“Oke, deh. Idemu lumayan bagus.
Namanya unik,” seruku sambil menyerahkan sekantong karedok pesanan mama Zahra.
***
Keesokan harinya di kelas, Zahra
datang sambil tergopoh-gopoh kearahku.
“Lan, nih aku buatkan brosur
untuk les privatmu” kata Zahra sambil menyerahkan bungkusan hitam padaku.
“Hmm…terimakasih ya Ra, kamu memang sahabat terbaikku” kataku tanpa bisa
menyembunyikan kegembiraanku. Brosur itu
akan aku edarkan pada teman-teman kelasku, dan tetangga-tetanggaku.
Baru 3 hari kemudian, aku sudah
mendapatkan 4 murid sekaligus. Ada 1 orang tetangga dan 3 lainnya teman sekelas
adik Zahra. Dengan privat ini, hasilnya akan aku tabung untuk biaya masuk SMP
nanti.
***
Di hari Sabtu, Zahra ke rumahku.
Ia menyodorkan selembar kertas.
“Nih, baca!” katanya sambil
menyelonjorkan kakinya di sofa.
Aku berteriak, “Olimpiade
Matematika. Wah, hadiahnya 10 juta. Mau dibuat apaan 10 juta?”
“Kamu berminat, Lan? Buruan
daftar. Besok Senin ketemu sama Pak Anto di kantor sekalian bawa
persyaratannya,” kata Zahra.
Senin pagi, aku menemui Pak Anto
di kantor.
“Permisi, Pak. Saya berminat
mengikuti Olimpiade Matematika. Ini saya bawa semua persyaratannya,” kataku
dengan sopan.
Pak Anto melihat semua
persyaratanku dan berkata, “Bagus, Bulan, kalau begitu, kamu isi dulu formulir
pendaftarannya,”
Setelah selesai, aku menemui
Zahra di depan kantor.
“Gimana, Lan? Diterima?” tanya
Zahra.
“Iya… Rembulan gitu, dong. Doain,
ya…..” kataku.
“Semoga berhasil, Lan,” kata
Zahra.
Semenjak
terpilih menjadi perwakilan sekolah untuk olimpiade matematika, aku semakin
giat belajar. Ada waktu seminggu buatku mempersiapkan diri.
Sepulang sekolah, aku melihat emak
menangis.“Ada apa, Mak?” tanyaku kepada Emak “Adikmu, Lan. Dia ditabrak mobil!”
kata Emak
Astaghfirullahalazhim. Rasanya
seperti disambar petir mendengar cerita Emak.
“Tadi Lusi pamit mau beli permen
ke warung Ucok di depan jalan, tiba-tiba mang Udin datang mengabarkan bahwa
Lusi jadi korban tabrak lari” cerita
emak sambil menangis.
Aku mengambilkan minum untuk emak
dan menyuruh beliau istirahat sejenak. Kemudian aku mengambil uang tabunganku
dan bergegas menuju rumah sakit, dalam pikiranku yang ada hanyalah Lusi harus
cepat sembuh.
Di rumah sakit, dokter mengatakan
bahwa Lusi harus dioperasi dan melakukan scan area kepala. Dokter khawatir Lusi akan
mengalami gegar otak Aku sangat sedih melihat kondisi Lusi seperti itu. Aku
hanya bisa berdoa bagi kesembuhan Lusi. Malam itu pun, aku memutuskan untuk
tidur di rumah sakit. “Untung dari kemarin aku sudah belajar untuk persiapan olimpiade besok” kataku
dalam hati.
Jam sudah menunjukkan pukul 6.00
pagi. Aku berpamitan kepada emak dan Lusi yang masih berada di rumah sakit. Aku
berangkat dari rumah sakit ke sekolah naik angkot. “Aku harus berusaha
menjadi yang terbaik” tekadku dalam hati.
Sampai di sekolah, olimpiade
segera dimulai. Pengawas membagikan LJK(Lembar Jawaban Komputer) kepada semua
peserta. Aku berdoa dengan khusyuk dalam hati dan berusaha mengerjakan soal
dengan teliti. Setelah menunggu beberapa saat, tibalah saat yang menegangkan,
yaitu pengumuman pemenang. Jantungku berdebar-debar. Kemudian MC naik ke atas
panggung.
“Ya…. Para peserta olimpiade,
sekarang saya akan mengumumkan pemenang olimpiade matematika. Juara ketiga
diraih oleh…. Shafira Anissa…. Juara kedua diraih oleh …. Muhammad Iqbal….
Dan…. Juara Pertama diraih oleh…. REMBULAN ZAMERIA!!! Selamat kepada semua
pemenang,” seru MC.
Aku tidak menyangka ini semua
terjadi. Aku dapat juara pertama. Aku mendapatkan hadiah uang 10 juta rupiah.
Benar-benar mimpi yang tidak disangka-sangka. Aku ingin segera pulang ke rumah
sakit mengabarkan berita ini kepada adikku dan emak. Uang dari hadiah ini akan
aku berikan pada emak untuk membayar biaya pengobatan Lusi dan menambah modal
usaha emak. Aku sangat bahagia, terlebih setelah dokter mengabarkan bahwa dari
hasil pemeriksaan, luka Lusi tidak terlalu parah, dan besok sudah diperbolehkan
pulang ke rumah. Akupun sudah tak sabar menemui murid-murid lesku…Terimakasih
Tuhan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar