welcome to my world

Selasa, 26 November 2013

Karedok Rasa Matematika



“Orang-orang selalu bilang, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Nah, kamu bisa menggantungkan cita-citamu pada rembulan. Kejar dan gapailah rembulan, karena di sanalah cita-citamu berada.”

Namaku Rembulan Zameria. Aku biasa dipanggil Bulan. Aku kelas 6 SD. Aku mempunyai seorang adik perempuan bernama Lusi. Lusi masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Aku seorang yatim. Ayahku meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena penyakit kanker. Sedangkan emak bekerja sebagai buruh cuci di kompleks sebelah dan menjual  karedok sepulang jadi buruh cuci.


Pagi datang, aku bangun mendengar suara emak mengulek bumbu karedok. Aku bangun untuk sholat subuh. Aku membangunkan Lusi yang tidur di sampingku. Saat  aku bangun aku merasakan pakaianku basah.
“Waduh, ini sih harus mandi. Bajuku kena ompol Lusi,” batinku.
Aku langsung berjalan menuju kamar mandi. Segera aku mandi dan menunaikan sholat subuh. Selesai sarapan, aku berpamitan kepada emak untuk berangkat sekolah. Emak menitipkan sebuah tampah berisi sayuran dan bumbu karedok .
Hari masih sangat pagi ketika aku berangkat ke sekolah. Di pinggir jalan besar aku menghentikan sebuah angkot berwarna hijau lalu naik. Angkot lalu berjalan dengan kecepatan tinggi. Beberapa kali aku terkena cipratan bumbu karedok.
“Bang, jangan ngebut dong. Jualan saya tumpah nih!” seruku kepada sopir angkot itu.
 Sopir angkotnya tidak menjawab. Malah ia tambah ngebut. Sampai di pertigaan sekolahku, angkot mengerem tiba-tiba.
“Ciiiiitttt….!” Suara rem mobil berdecit. Aku hampir terjatuh. Jualanku sebagian tumpah ke lantai mobil. Aku hanya menghela nafas kemudian turun. Setelah itu, aku segera berlari ke kantin sekolah dengan karedok yang tinggal setengahnya. Aku mencari Bu Tini, penjual di kantin tempat aku menitipkan jualan emak. Sebenarnya Bu Tini bukan orang yang ramah. Orangnya judes dan sangat perhitungan. Tapi hanya Bu Tini yang mau menerima titipan dagangan emak sehingga mau tidak mau aku harus mendengar omelannya setiap hari.
“Assalamualaikum, Bu. Ini saya bawa karedoknya,” aku berbicara seramah mungkin.
Bu Tini menatap tidak senang jualanku yang berantakan. Aku tetap saja meletakkan jualanku di warung Bu Tini. Bu Tini membuka plastik penutup tampah.
“Kok berantakan karedoknya. Mana ada yang mau beli makanan rusak kayak begini?” tanya Bu Tini kepadaku.
Aku menahan tangis. Kemudian aku berkata dengan suara bergertar, “Tapi Bu, kalau enggak dijual nanti bisa basi. Tolong, ya, Bu. Saya jualnya setengah dari harga biasanya. Yang penting karedoknya gak sampai basi.”
“Hmm, boleh deh kalau begitu. Tapi kamu bereskan dulu ya, karedoknya,” Bu Tini tersenyum licik. Dalam pikirannya yang penting ada uang dan keuntungan yang banyak.

Di kelas, ada yang mengagetkanku dari belakang. Ternyata si Zahra, sahabatku yang baik hati.
“Hei, Bulan. Kenapa lemes. Belum sarapan, ya?” tanya Zahra yang bermaksud menggodaku.
Aku menceritakan kejadianku dari awal sampai dimarahi oleh Bu Tini. Tiba-tiba, Vira bersama geng-nya lewat di depanku. Vira adalah rivalku di kelasnya. Vira melirik rokku dan berteriak kepada geng-nya.
Hai teman-teman... Lihat tuh, ada orang kampung rokknya kotor bikin orang jijik sama dia. Tinggalin dia, yuk. Orang kampung gak pantas dideketin,” kata Vira.
Vira dan geng-nya segera pergi. Sebelumnya Vira melirikku dengan sinis. Aku hanya tertunduk lemas dengan perkataan Vira. Zahra berusaha menghiburku.
“Sudah, gak usah dimasukin hati anak kayak gitu. Aku yakin dia  cuma iri sama kamu, kok,” hibur Zahra.
Aku tersenyum seraya bangun dan mencubit pipi Zahra yang gembul. Zahra berusaha mengejarku. Bel masuk berbunyi dan Pak Anto memasuki kelas tanda pelajaran dimulai.
Pulang  sekolah, aku menyusuri jalan di gang rumahku. Sampai di rumah, aku mencuci tangan, mengerjakan PR, kemudian berjualan karedok di depan rumah. Kali ini, aku menyediakan bahan karedok lebih banyak. Kebetulan  ada pertandingan bulutangkis di lapangan RT. Biasanya orang ramai menonton dan membeli karedokku.
“Assalamualaikum, Lan!” Teh Mina, tetanggaku menghampiriku.
“Waalaikumsalam.. Mau ke mana, Teh? rapi amat,” kataku.
“Ini baru pulang dari toko buku. Beli krayon sama buku gambar,” Teh Mina mengeluarkan beberapa pak krayon dan buku gambar. Teh Mina membuka les menggambar untuk anak- anak di rumahnya.
“Emang ada berapa orang yang les, Teh?” tanyaku penasaran.
“Lumayan banyak, kalau di hitung-hitung cukup untuk biaya kuliah nanti,” jawab Teh Mina. Teh Mina adalah kakak kelasku. Kini, Teh Mina sudah SMA.
“Oh, ya, Lan. Bukankah dulu kau mengatakan bahwa kamu juga ingin membuka les privat? Privat apa, Lan? Kamu ahlinya di bidang apa?” tanya Teh Mina. Dulu aku memang pernah berkata bahwa aku juga ingin membuka privat matematika seperti Teh Mina.
“Ahli makan dan ahli tidur, Teh,” jawabku asal.
Teh Mina tertawa mendengar jawabanku. Di kejauhan, terlihat 3 anak kecil mendekati Teh Mina. Rupanya mereka membawa PR mereka.
“Teteh pamit dulu, Lan. Murid teteh sudah datang,” pamit Teh Mina.
Tak lama kemudian, Zahra datang. Ia memesan 1 bungkus karedok untuk mamanya. Aku menceritakan kepada Zahra kalau aku ingin membuka privat di rumah.
“Uhuk… uhuk….. mau buka privat, Lan? Apa nama  privatnya?” tanya Zahra. Zahra tersedak tempe ketika aku menceritakan rencana ingin membuka privat.
“Belum tahu namanya apa. Makanya aku cerita ke kamu. Mungkin kamu bisa ngasih ide, Ra,” kataku sambil sibuk mengulek sambal karedok.
“Hmm… gimana kalo Karedok Rasa Matematika. Ngerjain matematika jadi mudah dan enak, seenak kalo kita makan karedok. Ideku jenius, kan?” kata Zahra percaya diri.
“Iya juga sih. Trus yang jadi muridnya?” tanyaku balik.
“Aku bantu promosikan deh. Soal murid, tuh tetanggamu kan banyak. Belum lagi teman yang suka nanya soal matematika sama kamu,” Zahra melingkarkan tangannya di bahuku.
“Oke, deh. Idemu lumayan bagus. Namanya unik,” seruku sambil menyerahkan sekantong karedok pesanan mama Zahra.

***
Keesokan harinya di kelas, Zahra datang sambil tergopoh-gopoh kearahku.
“Lan, nih aku buatkan brosur untuk les privatmu” kata Zahra sambil menyerahkan bungkusan hitam padaku. “Hmm…terimakasih ya Ra, kamu memang sahabat terbaikku” kataku tanpa bisa menyembunyikan kegembiraanku. Brosur  itu akan aku edarkan pada teman-teman kelasku, dan tetangga-tetanggaku.
Baru 3 hari kemudian, aku sudah mendapatkan 4 murid sekaligus. Ada 1 orang tetangga dan 3 lainnya teman sekelas adik Zahra. Dengan privat ini, hasilnya akan aku tabung untuk biaya masuk SMP nanti.

***
Di hari Sabtu, Zahra ke rumahku. Ia menyodorkan selembar kertas.
“Nih, baca!” katanya sambil menyelonjorkan kakinya di sofa.
Aku berteriak, “Olimpiade Matematika. Wah, hadiahnya 10 juta. Mau dibuat apaan 10 juta?”
“Kamu berminat, Lan? Buruan daftar. Besok Senin ketemu sama Pak Anto di kantor sekalian bawa persyaratannya,” kata Zahra.
Senin pagi, aku menemui Pak Anto di kantor.
“Permisi, Pak. Saya berminat mengikuti Olimpiade Matematika. Ini saya bawa semua persyaratannya,” kataku dengan sopan.
Pak Anto melihat semua persyaratanku dan berkata, “Bagus, Bulan, kalau begitu, kamu isi dulu formulir pendaftarannya,”
Setelah selesai, aku menemui Zahra di depan kantor.
“Gimana, Lan? Diterima?” tanya Zahra.
“Iya… Rembulan gitu, dong. Doain, ya…..” kataku.
“Semoga berhasil, Lan,” kata Zahra.
Semenjak terpilih menjadi perwakilan sekolah untuk olimpiade matematika, aku semakin giat belajar. Ada waktu seminggu buatku mempersiapkan diri.



Sepulang sekolah, aku melihat emak menangis.“Ada apa, Mak?” tanyaku kepada Emak “Adikmu, Lan. Dia ditabrak mobil!” kata Emak
Astaghfirullahalazhim. Rasanya seperti disambar petir mendengar cerita Emak.
“Tadi Lusi pamit mau beli permen ke warung Ucok di depan jalan, tiba-tiba mang Udin datang mengabarkan bahwa Lusi  jadi korban tabrak lari” cerita emak sambil menangis.
Aku mengambilkan minum untuk emak dan menyuruh beliau istirahat sejenak. Kemudian aku mengambil uang tabunganku dan bergegas menuju rumah sakit, dalam pikiranku yang ada hanyalah Lusi harus cepat sembuh.
Di rumah sakit, dokter mengatakan bahwa Lusi harus dioperasi dan melakukan scan  area kepala. Dokter khawatir Lusi akan mengalami gegar otak Aku sangat sedih melihat kondisi Lusi seperti itu. Aku hanya bisa berdoa bagi kesembuhan Lusi. Malam itu pun, aku memutuskan untuk tidur di rumah sakit. “Untung dari kemarin aku sudah belajar  untuk persiapan olimpiade besok” kataku dalam hati.
Jam sudah menunjukkan pukul 6.00 pagi. Aku berpamitan kepada emak dan Lusi yang masih berada di rumah sakit. Aku berangkat dari rumah sakit ke sekolah naik angkot. “Aku harus berusaha menjadi yang terbaik” tekadku dalam hati.
Sampai di sekolah, olimpiade segera dimulai. Pengawas membagikan LJK(Lembar Jawaban Komputer) kepada semua peserta. Aku berdoa dengan khusyuk dalam hati dan berusaha mengerjakan soal dengan teliti. Setelah menunggu beberapa saat, tibalah saat yang menegangkan, yaitu pengumuman pemenang. Jantungku berdebar-debar. Kemudian MC naik ke atas panggung.
“Ya…. Para peserta olimpiade, sekarang saya akan mengumumkan pemenang olimpiade matematika. Juara ketiga diraih oleh…. Shafira Anissa…. Juara kedua diraih oleh …. Muhammad Iqbal…. Dan…. Juara Pertama diraih oleh…. REMBULAN ZAMERIA!!! Selamat kepada semua pemenang,” seru MC.

Aku tidak menyangka ini semua terjadi. Aku dapat juara pertama. Aku mendapatkan hadiah uang 10 juta rupiah. Benar-benar mimpi yang tidak disangka-sangka. Aku ingin segera pulang ke rumah sakit mengabarkan berita ini kepada adikku dan emak. Uang dari hadiah ini akan aku berikan pada emak untuk membayar biaya pengobatan Lusi dan menambah modal usaha emak. Aku sangat bahagia, terlebih setelah dokter mengabarkan bahwa dari hasil pemeriksaan, luka Lusi tidak terlalu parah, dan besok sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Akupun sudah tak sabar menemui murid-murid lesku…Terimakasih Tuhan…



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar